Di Bawah Atap yang Sama

Di Bawah Atap yang Sama

Bab 1: Teman Cerita

Warkop Berita – Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Sarah dari buku yang sedang dibacanya. Dia menyisihkan secangkir teh yang sudah mulai dingin dan membuka pintu.

“Sarah, kamu di rumah?” suara itu terdengar ringan namun penuh rasa ingin tahu. Itu suara Rina, teman baiknya sejak kuliah.

“Tentu, masuk aja,” jawab Sarah sambil tersenyum dan membuka pintu lebih lebar.

Rina masuk dengan langkah cepat, wajahnya cerah meski terlihat sedikit lelah. Dia baru saja pulang dari tempat kerjanya di kantor hukum. Seperti biasa, Rina selalu penuh semangat berbicara tentang segala hal, namun kali ini ada sedikit kecemasan di balik sorot matanya.

Mereka berdua duduk di ruang keluarga, ruang yang hangat dan nyaman dengan sofa besar dan karpet tebal. Di salah satu sudut ruangan, terdapat rak buku yang penuh dengan cerita-cerita yang pernah mereka baca bersama.

“Ada apa, Rina?” tanya Sarah sambil memiringkan kepala, menangkap nada berbeda dalam suara temannya.

Rina menarik napas panjang, “Aku merasa semakin terjebak di pekerjaanku. Setiap hari bertemu orang-orang yang merasa kehilangan hak mereka, dan aku… aku merasa seperti itu juga. Aku tidak bisa merasakan kebahagiaan seperti dulu.”

Sarah menatap Rina dengan empati. “Apa yang kamu harapkan dari pekerjaan itu? Apa yang kamu ingin capai?”

Rina terdiam sejenak, merapikan rambutnya yang terjatuh di wajah. “Aku ingin bisa membantu orang, tentu saja. Tapi kadang-kadang aku merasa bahwa dalam proses itu, aku sendiri lupa siapa aku sebenarnya.”

Sarah mengangguk pelan, memahami perasaan Rina yang cemas dan bingung. “Terkadang, kita memang lupa siapa kita ketika terjebak dalam rutinitas. Mungkin kamu perlu mencari waktu untuk dirimu sendiri. Jangan biarkan pekerjaan mendefinisikanmu sepenuhnya.”

Percakapan itu membuat Rina berpikir panjang. Mereka berdua terdiam sejenak, larut dalam pikiran masing-masing.

Bab 2: Hak dan Ibadah

Malam itu, setelah makan malam sederhana yang mereka nikmati bersama, Sarah dan Rina duduk kembali di ruang keluarga. Sarah membuka percakapan tentang hal yang lebih spiritual, sesuatu yang sering mereka bicarakan setelah mereka lama tidak bertemu.

“Rina, kamu ingat saat kita masih kuliah? Kita sering berbicara tentang hak—hak kita sebagai manusia, hak untuk bahagia, untuk mencintai, untuk meraih cita-cita. Aku rasa kita harus ingat bahwa hak itu juga terkait dengan ibadah kita.”

Rina menatap temannya, mencoba mencerna kata-kata itu. “Ibadah? Maksudmu, dengan cara kita bekerja atau menjalani hidup sehari-hari?”

Sarah mengangguk. “Iya, ibadah bukan hanya tentang shalat atau ritual agama, tetapi juga tentang bagaimana kita menjalani kehidupan kita dengan penuh rasa syukur. Ketika kita merasa terjebak atau kehilangan arah, mungkin kita perlu kembali ke dasar-dasar ibadah—menjaga hati tetap tenang, membantu sesama, dan merasa cukup dengan apa yang kita punya.”

Rina merenung, “Tapi kadang-kadang aku merasa kesulitan menemukan waktu untuk itu. Apalagi dengan tuntutan pekerjaan yang selalu datang.”

“Justru karena itu, kita perlu seimbang,” jawab Sarah lembut. “Ibadah bukan sekadar kewajiban, tapi sebuah cara hidup. Kita bisa bekerja dengan penuh rasa syukur, bisa berbuat baik dalam setiap langkah kita, dan itu sudah termasuk ibadah.”

Bab 3: Kejadian yang Mengubah Segalanya

Malam itu, setelah percakapan yang mendalam, Rina pulang dengan perasaan campur aduk. Saat dia keluar dari rumah Sarah, dia merasa ada perubahan kecil dalam dirinya. Namun, apa yang dia tidak ketahui adalah bahwa kehidupan akan segera mengujinya dengan cara yang tak terduga.

Beberapa hari kemudian, Rina mendapat kabar bahwa ada klien di kantornya yang sedang dalam kondisi sangat buruk, melibatkan masalah hukum yang sangat rumit. Kasus itu melibatkan hak asuh anak, dan Rina merasa benar-benar terbelah.

Ketika dia sedang mempertimbangkan keputusan yang sulit itu, dia menerima telepon dari Sarah.

“Halo, Rina? Aku tahu kamu sibuk, tapi aku ingin mengingatkanmu untuk tidak melupakan dirimu sendiri dalam proses ini. Jangan biarkan pekerjaanmu mengambil seluruh hidupmu. Kita harus tetap menjaga hati kita,” kata Sarah, suaranya hangat dan penuh perhatian.

Rina terdiam, merasakan betapa pentingnya pesan itu. Tetapi keputusan yang harus diambilnya tetap tidak mudah.

Bab 4: Percakapan di Tengah Malam

Pada suatu malam yang hujan, Rina dan Sarah kembali bertemu di ruang keluarga rumah Sarah. Hujan di luar membuat suasana di dalam ruangan terasa semakin intim, dan percakapan mereka mulai lebih mendalam.

“Aku merasa aku harus memilih antara pekerjaan dan kehidupan pribadiku,” kata Rina, memandang api kecil yang berkobar di perapian. “Tapi jika aku melepaskan ini, aku merasa aku akan kehilangan kesempatan untuk memberi orang lain hak mereka.”

Sarah duduk di sampingnya, meletakkan tangannya di bahu Rina. “Kamu bisa memberi hak kepada orang lain, Rina, tanpa harus kehilangan dirimu sendiri. Jangan biarkan pekerjaan mendefinisikan siapa dirimu. Kehidupan pribadi, kebahagiaanmu, dan ibadahmu juga penting.”

Rina menghela napas panjang. “Mungkin kamu benar. Aku terlalu fokus pada pekerjaan sampai aku lupa apa yang penting.”

Bab 5: Keputusan

Beberapa minggu setelah percakapan itu, Rina membuat keputusan besar. Dia memilih untuk memperlambat ritme kerjanya dan lebih memperhatikan dirinya sendiri. Dia kembali meluangkan waktu untuk ibadah, berdoa, dan mencari kedamaian dalam hatinya.

Rina menyadari bahwa hak untuk bahagia adalah hak yang diberikan oleh Tuhan, dan itu bukanlah sesuatu yang bisa dikesampingkan demi pekerjaan atau apapun itu. Kehidupan yang seimbang adalah kunci, dan dengan dukungan teman seperti Sarah, dia merasa lebih kuat untuk melanjutkan perjalanan hidupnya dengan cara yang lebih sehat dan penuh arti.

Epilog: Cerita yang Tidak Nyata

Seperti halnya semua cerita, ini bukanlah kisah nyata. Namun, siapa yang tahu? Mungkin ada banyak Rina di luar sana yang merasa terjebak dalam pekerjaan dan melupakan kebahagiaan diri mereka sendiri. Dalam kehidupan nyata, kita seringkali membutuhkan seseorang untuk berbicara dengan kita, untuk membantu kita melihat bahwa ada lebih banyak dalam hidup ini selain pekerjaan dan tugas sehari-hari.

Baca Juga : Demo di Indonesia: Sejarah, Fenomena, dan Dampaknya

Teman adalah seseorang yang selalu ada, siap mendengarkan, memberi nasihat, dan membuat kita ingat bahwa kita memiliki hak untuk bahagia.

Tamat

Post Comment

You May Have Missed